BERNAFAS DALAM “LUMPUR NEOLIBERALISME”
(Refleksi atas Rasa Kebangsaan Masa Kini)
Kasus
nasabah Citibank yang tewas di tangan dept collector gara-gara menunggak
pembayaran tagihan kartu kredit sesungguhnya bisa kita jadikan “titik
perlawanan” terhadap salah satu symbol
neoliberalisme (neolib). Hal ini jika kita hendak menjadikan neolib
sebagai “musuh bersama” dalam rangka menegakkan panji-panji nasionalisme, dan
mengibarkan semangat baru sebagai bangsa yang merdeka. Pasalnya, pasca
keruntuhan rezim politik era Orde Baru kita berhadapan dengan rezim kapitalisme
politik dan ekonomi yang berkekuatan super dahsyat.
Saat
ini semakin banyak orang kaya (baca: pemilik modal) yang tidak bisa memutar
uangnya di sector riil, sehingga dimana-mana mereka berjualan uang dengan
mendirikan perusahaan-perusahaan pembiayaan; dari mulai modal kerja, investasi,
konsumtif dan jasa-jasa lain. Celakanya lagi, ada sebagian besar pelaku
industry pembiayaan tersebut bermodalkan uang dari orang asing (luar negeri).
Lalu
apa yang terjadi kemudian? Arus deras ekspansi modal berlangsung secara ekstrim
karena persaingan yang tidak sehat. Para pelaku usaha kecil (mikro) lalu
menjadi korban dari pemaksaan arus modal dan system penagihan yang tidak
manusiawi. Dan saat ini, lebih dari separuh pelaku usaha kecil itu tengah
meradang menghadapi “terorisme perbankan”.
Ironisnya, baik pelaku usaha kecil dan dept collector itu adalah
sama-sama anak bangsa yang dilahirkan dalam kubangan “lumpur neoliberalisme”.
Ini jelas politik devide et impera model baru!
Belum
lagi, betapa tak terhitung warga bangsa ini terpaksa kehilangan sumber
penghidupannya, beralih dari pelaku usaha menjadi buruh. Para petani juga sudah
menjual lahannya demi membayar tagihan hutang yang semakin hari semakin
menjerat. Persaingan dagang pun semakin kejam dan tidak mengenal prinsip
kekeluargaan. Produk-produk luar negeri semakin hari semakin menggunung di
halaman rumah kita. Tidak hanya itu, pasar tradisional di sekitar kita malah
dihiasi dengan sejumlah mini market milik “orang asing”.
Bisa
ditebak, menjamurnya mini market itu mampu merubah secara ekstrim budaya
belanja warga bangsa ini. Pasar tradisional yang semula menjadi “arena
berkebudayaan” saat ini sudah mulai ditinggalkan. Banyak warga kita terjerumus
dalam gemerlap symbol neolib itu. Berbondong-bondong menuju budaya swalayan;
datang tanpa tutur-sapa, transaksi tanpa kata-kata, dan pergi tanpa cerita cinta.
Bukan hanya asset ekonomi yang dirampas, tapi juga aseet tradisi-kebudayaan
kita yang digilas.
Saat
ini bahkan kita semakin sulit menemukan kearifan social dalam lingkungan kita
sendiri. Sepertinya karakter bangsa ini sudah berubah haluan secara drastic.
Kiblat spiritual kita juga sudah bergeser cukup jauh. Masing-masing kita dibuat
sibuk dan mabuk dalam semboyan “time is money”. Secara berjamaah kita bahkan
sudah mentertawakan norma-norma kebangsaan kita, dan larut dalam gemerlap
panji-panji imperialisme. Yang kaya yang berkuasa, yang miskin yang selalu
kalah dan tertindas!
Berkaca
pada situasi tersebut di atas maka kita perlu menegaskan kembali arah
keberpihakan dan perlawanan kita. Harus
segera dipetakan secara jelas “medan pertempuran” kita saat ini. Juga, harus
dirumuskan kembali dasar-dasar dan falsafah hidup sebagai bangsa yang merdeka. Tidak
sekadar merdeka secara politik, tapi juga merdeka secara ekonomi, merdeka
secara budaya, dan merdeka secara spiritual.
Demikian,
semoga kita tetap semangat dalam pertempuran berikutnya…!
Oleh: Shafei Pahlevie
______________________________
VERSI GOOGLE TRANSLATE JADI BEGINI :
Breathe in
"MUD NEOLIBERALISM"
(Reflections on the Sense of Nationhood Today)
The case of Citibank customers who died at the hands dept collector because of
delinquent credit card bill payment can actually make our "point of
resistance" against one of the symbol of neoliberalism (neolib). This is
if we want to make neolib as a "common enemy" in order to uphold the
banner of nationalism, and fly the new spirit as an independent nation.
Because, after the collapse of New Order political regime we are dealing with a
regime of political capitalism and super-powerful economic force.
Today more and more people rich (read: owners of capital) that can not turn the
money in the real sector, so that everywhere they sell money by setting up
financing companies, from start working capital, investment, consumption and
other services. Unfortunately again, there is much of the financing industry
capitalize money from foreigners (overseas).
So what happens then? Torrential flows of capital expansion took place in the
extreme because of unfair competition. The small businesses (micro) and then
become victims of the imposition of capital flows and billing systems that are
not humane. And today, more than half of small businesses was being inflamed
face "banking terrorist". Ironically, both small businesses and the
dept collectors are equally children of the nation who were born in the puddle
"mud neoliberalism". This is clearly political divide et impera new
model!
Not to mention, how countless citizens of this nation is forced to lose their
source of livelihood, switching from business to labor. The farmers also had to
sell his land to pay the bills ever growing debt trap. Trade competition became
more ruthless and do not recognize the principle of kinship. Foreign products
is increasingly high on our home page. Not only that, the traditional markets
around us even decorated with a number of mini markets belonging to the
"foreigners".
Predictably, the mushrooming of mini market was able to change the culture of
extreme shopping citizens of this nation. The traditional markets are beginning
to be "cultured arena" are now becoming obsolete. Many of our
citizens mired in a glittering symbol of neolib it. Flocked to the culture of
self-service; come without a speech-sapa, transactions without words, and went
without a love story. Not only deprived of their economic assets, but also
aseet-cultural tradition we are crushed.
Currently we are even more difficult to find social wisdom in our own
environment. It looks like the character of this nation has changed direction
drastically. Qibla spiritual we also have shifted far enough. Each of us kept
busy and drunk in the slogan "time is money". A congregation we even
laugh at our national norms, and dissolve in sparkling banner of imperialism.
The rich are in power, the poor are always defeated and oppressed!
Reflecting on the situation mentioned above, we need to reaffirm our direction
of partisanship and resistance. Must be clearly mapped "battleground"
we are now. Also, have redefined the fundamentals and philosophy of life as an
independent nation. Not just politically independent, but also economically
independent, free and culturally, and spiritually independent.
Likewise, may we keep the spirit in the next battle ...!
By: Shafei Pahlevie