NOW

Kamis, 15 Juli 2021

Keutamaan Menikahi Janda

 


Menurut beberapa sumber bahwa menikahi janda itu memiliki banyak keutamaan. Antara lain; pertama, janda itu butuh sandaran untuk mengangkat kehormatannya. Sebab biasanya seorang janda merasa risih dengan omongan banyak orang tentang status jandanya. Sehingga ketika ia sudah menikah lagi maka ia terbebas dari prasangka buruk dan kemudian kehormatannya kembali terjaga.

Kedua, janda memiliki pengalaman dalam mengelola rumah tangga, sehingga lebih mudah beradaptasi bila dinikahi. Selain itu, dalam urusan ranjang atau berhubungan seksual juga sudah mumpuni sehingga tidak mulai dari nol. Hubungan seksual dengan janda yang dinikahi itu tentu memiliki sensasi dan kenikmatan tersendiri dibanding dengan hubungan seksual bersama pengantin perawan.

Ketiga, apabila janda tersebut mempunyai anak-anak yatim dari suaminya yang meninggal dunia maka menikahinya merupakan suatu kemuliaan. Dimana pria yang menikahinya juga sekaligus menanggung biaya kehidupan anak-anak yatim tersebut.

Demikian, mungkin ada banyak lagi keutamaan-keutamaan lainnya tentang menikahi seorang janda. Salam sukses...!


#jandadesa

#jandahot





Rabu, 09 November 2011

BERNAFAS DALAM “LUMPUR NEOLIBERALISME”


BERNAFAS DALAM “LUMPUR NEOLIBERALISME”
(Refleksi atas Rasa Kebangsaan Masa Kini)


Kasus nasabah Citibank yang tewas di tangan dept collector gara-gara menunggak pembayaran tagihan kartu kredit sesungguhnya bisa kita jadikan “titik perlawanan” terhadap salah satu symbol  neoliberalisme (neolib). Hal ini jika kita hendak menjadikan neolib sebagai “musuh bersama” dalam rangka menegakkan panji-panji nasionalisme, dan mengibarkan semangat baru sebagai bangsa yang merdeka. Pasalnya, pasca keruntuhan rezim politik era Orde Baru kita berhadapan dengan rezim kapitalisme politik dan ekonomi yang berkekuatan super dahsyat.
Saat ini semakin banyak orang kaya (baca: pemilik modal) yang tidak bisa memutar uangnya di sector riil, sehingga dimana-mana mereka berjualan uang dengan mendirikan perusahaan-perusahaan pembiayaan; dari mulai modal kerja, investasi, konsumtif dan jasa-jasa lain. Celakanya lagi, ada sebagian besar pelaku industry pembiayaan tersebut bermodalkan uang dari orang asing (luar negeri).
Lalu apa yang terjadi kemudian? Arus deras ekspansi modal berlangsung secara ekstrim karena persaingan yang tidak sehat. Para pelaku usaha kecil (mikro) lalu menjadi korban dari pemaksaan arus modal dan system penagihan yang tidak manusiawi. Dan saat ini, lebih dari separuh pelaku usaha kecil itu tengah meradang menghadapi “terorisme perbankan”.  Ironisnya, baik pelaku usaha kecil dan dept collector itu adalah sama-sama anak bangsa yang dilahirkan dalam kubangan “lumpur neoliberalisme”. Ini jelas politik devide et impera model baru!
Belum lagi, betapa tak terhitung warga bangsa ini terpaksa kehilangan sumber penghidupannya, beralih dari pelaku usaha menjadi buruh. Para petani juga sudah menjual lahannya demi membayar tagihan hutang yang semakin hari semakin menjerat. Persaingan dagang pun semakin kejam dan tidak mengenal prinsip kekeluargaan. Produk-produk luar negeri semakin hari semakin menggunung di halaman rumah kita. Tidak hanya itu, pasar tradisional di sekitar kita malah dihiasi dengan sejumlah mini market milik “orang asing”. 
Bisa ditebak, menjamurnya mini market itu mampu merubah secara ekstrim budaya belanja warga bangsa ini. Pasar tradisional yang semula menjadi “arena berkebudayaan” saat ini sudah mulai ditinggalkan. Banyak warga kita terjerumus dalam gemerlap symbol neolib itu. Berbondong-bondong menuju budaya swalayan; datang tanpa tutur-sapa, transaksi tanpa kata-kata, dan pergi tanpa cerita cinta. Bukan hanya asset ekonomi yang dirampas, tapi juga aseet tradisi-kebudayaan kita yang digilas.
Saat ini bahkan kita semakin sulit menemukan kearifan social dalam lingkungan kita sendiri. Sepertinya karakter bangsa ini sudah berubah haluan secara drastic. Kiblat spiritual kita juga sudah bergeser cukup jauh. Masing-masing kita dibuat sibuk dan mabuk dalam semboyan “time is money”. Secara berjamaah kita bahkan sudah mentertawakan norma-norma kebangsaan kita, dan larut dalam gemerlap panji-panji imperialisme. Yang kaya yang berkuasa, yang miskin yang selalu kalah dan tertindas!
Berkaca pada situasi tersebut di atas maka kita perlu menegaskan kembali arah keberpihakan dan perlawanan kita.  Harus segera dipetakan secara jelas “medan pertempuran” kita saat ini. Juga, harus dirumuskan kembali dasar-dasar dan falsafah hidup sebagai bangsa yang merdeka. Tidak sekadar merdeka secara politik, tapi juga merdeka secara ekonomi, merdeka secara budaya, dan merdeka secara spiritual.
Demikian, semoga kita tetap semangat dalam pertempuran berikutnya…!

Oleh: Shafei Pahlevie
______________________________

 VERSI GOOGLE TRANSLATE JADI BEGINI :


Breathe in "MUD NEOLIBERALISM"
(Reflections on the Sense of Nationhood Today)


The case of Citibank customers who died at the hands dept collector because of delinquent credit card bill payment can actually make our "point of resistance" against one of the symbol of neoliberalism (neolib). This is if we want to make neolib as a "common enemy" in order to uphold the banner of nationalism, and fly the new spirit as an independent nation. Because, after the collapse of New Order political regime we are dealing with a regime of political capitalism and super-powerful economic force.
Today more and more people rich (read: owners of capital) that can not turn the money in the real sector, so that everywhere they sell money by setting up financing companies, from start working capital, investment, consumption and other services. Unfortunately again, there is much of the financing industry capitalize money from foreigners (overseas).
So what happens then? Torrential flows of capital expansion took place in the extreme because of unfair competition. The small businesses (micro) and then become victims of the imposition of capital flows and billing systems that are not humane. And today, more than half of small businesses was being inflamed face "banking terrorist". Ironically, both small businesses and the dept collectors are equally children of the nation who were born in the puddle "mud neoliberalism". This is clearly political divide et impera new model!
Not to mention, how countless citizens of this nation is forced to lose their source of livelihood, switching from business to labor. The farmers also had to sell his land to pay the bills ever growing debt trap. Trade competition became more ruthless and do not recognize the principle of kinship. Foreign products is increasingly high on our home page. Not only that, the traditional markets around us even decorated with a number of mini markets belonging to the "foreigners".
Predictably, the mushrooming of mini market was able to change the culture of extreme shopping citizens of this nation. The traditional markets are beginning to be "cultured arena" are now becoming obsolete. Many of our citizens mired in a glittering symbol of neolib it. Flocked to the culture of self-service; come without a speech-sapa, transactions without words, and went without a love story. Not only deprived of their economic assets, but also aseet-cultural tradition we are crushed.
Currently we are even more difficult to find social wisdom in our own environment. It looks like the character of this nation has changed direction drastically. Qibla spiritual we also have shifted far enough. Each of us kept busy and drunk in the slogan "time is money". A congregation we even laugh at our national norms, and dissolve in sparkling banner of imperialism. The rich are in power, the poor are always defeated and oppressed!
Reflecting on the situation mentioned above, we need to reaffirm our direction of partisanship and resistance. Must be clearly mapped "battleground" we are now. Also, have redefined the fundamentals and philosophy of life as an independent nation. Not just politically independent, but also economically independent, free and culturally, and spiritually independent.
Likewise, may we keep the spirit in the next battle ...!

By: Shafei Pahlevie



Kamis, 20 Oktober 2011

Bahasa Seks Seorang Wartawan




Ada banyak ragam bahasa sandi untuk mengungkapkan hasrat seksual. Nah, wartawan yang satu ini punya bahasa sandi yang unik; setiap kali hendak mengajak bersenggama dengan istrinya dia cukup mengatakan, “Mama…, ayo kita ngetik..!”
Suatu hari, sang wartawan menyuruh anak bungsunya, si Aldi :
“Aldi.., tolong bilang ke Mama ya, Papa pengin ngetik..!”
Lalu Aldi bergegas menemui mamanya di dapur; “Mama, itu Papa bilang pengin ngetik!”
“Tolong sampaikan ke Papa ya, Nak. Mesin ketiknya lagi rusak..!”, jawab sang Mama kepada Aldi.
Aldi pun segera mengabarkan jawaban mamanya itu kepada sang Papa.
Esoknya, sang Mama menyuruh Aldi;  “Aldi…, tolong bilang ke Papa ya, jadi ngetik nggak? Ini mesin ketiknya sudah oke..!”
Langsung saja si Aldi menyampaikan kabar itu kepada  papanya. “Papa, jadi ngetik nggak? Kata Mama mesin ketiknya udah oke..!”
Lalu jawab si Papa; “Bilang ke Mama ya, Nak! Papa nggak jadi ngetik. Papa sudah nulis pake’ tangan..!!!”

Rabu, 19 Oktober 2011

Skandal Seks Dokter dengan Pasien


Gosip tak sedap seputar kehidupan seks para petugas medis memang sudah tersebar luas. Berdasar pengakuan banyak orang yang pernah bekerja di rumah sakit menyebutkan, sudah sering terjadi skandal atau perselingkuhan seks antara dokter dengan perawat, dokter dengan pasien, dokter dengan pengunjung pasien, perawat dengan pasien, perawat dengan tenaga teknis rumah sakit, pasien dengan sesama pasien, dan bahkan ada petugas penjaga kamar mayat yang "memperkosa" jenazah perempuan cantik.

Selain itu, di tempat praktek pribadi juga banyak dokter yang melakukan skandal seks dengan pasien, juga dengan sejumlah SPG dan sales obat (detailer). Biasanya, sang dokter akan bersedia memesan dan membeli obat yang ditawarkan asalkan SPG tersebut mau dicium pipinya, diremas "anu"nya, atau sekedar disuruh membuka kancing baju bagian atasnya.

Nah, ada lagi dokter yang sedang menderita stress berat gara-gara menyesali telah berbuat mesum dengan pasiennya. Setiap malam dia sulit tidur karena selalu memikirkan skandal seks yang telah diperbuatnya itu. Lalu dia mendatangi teman lamanya yang berprofesi sebagai psikiater untuk mengadukan masalah tersebut.
"Sudahlah, Dok. Tidak perlu disesali terlalu dalam. Toh, dimana-mana yang namanya skandal dokter dengan pasien itu sesuatu yang lumrah dan wajar!" ujar sang psikiater berusaha menenangkan perasaan sang dokter.
"Lumrahhh..? Wajarrr...? Saya ini khan Dokter Hewan...!!!" jawab dokter dengan nada jengkel.

Selasa, 18 Oktober 2011

PELACUR dan TELOR ASIN BREBES

Jika anda seorang pria yang berasal dari Kabupaten Brebes-Jawa Tengah maka berhati-hati saja manakala berkunjung ke tempat prostitusi. Pasalnya, hampir semua Pekerja Seks Komersil (PSK) bisa mengenali pria-pria yang berasal dari Brebes. Mereka pasti langsung bisa menebak pria Brebes yang berkencan dengannya meskipun pria itu mengaku berasal dari daerah lain.
Begitu orang itu bergulat dengan PSK di atas ranjang maka sang PSK akan spontan nyeletuk:
“Wah, Mas ini orang Brebes ya..?”
“Lho, kok bisa tau…?” Tanya pria tersebut
“Ya tau dong! Mas ini khan telornya asin banget..!!!” jawab sang PSK singkat.
Nah, makanya orang Brebes jangan suka ngaku-ngaku orang Cirebon atau Tegal manakala berkunjung ke lokalisasi. Sebab Brebes memang sudah sangat terkenal dengan telor asinnya alias daerah penghasil telor asin terbesar di Jawa Tengah.

Selama Pake’ Kondom Gak Bakal Hamil...!!!




Pendidikan seks yang baik dan benar memang masih menjadi dilemma, di satu sisi sebagian orang berharap akan dapat memahami persoalan seks secara lebih terbuka dan menyeluruh, tapi di sisi yang lain sebagian orang justru khawatir jika persoalan seks dibicarakan terlalu terbuka akan membawa dampak negative. Misalnya; mewabahnya budaya seks bebas di kalangan anak muda atau di bawah umur.
Nah, cerita yang satu ini mungkin menggambarkan betapa pendidikan seks yang baik dan benar itu tidak tersosialisasikan dengan baik, terutama bagi orang-orang pedesaan.
Ceritanya begini; sepasang pengantin baru, sebut saja Si Jajang dan Si Entin, baru saja melangsungkan pernikahan. Karena mereka berdua belum berkeinginan untuk mempunyai anak maka mereka menuruti saran dari bidan setempat untuk memakai alat kontrasepsi berupa Kondom.
“Pokoknya selama Akang Jajang selalu memakai kondom maka aku nggak bakalan hamil!” ucap Entin menjelaskan fungsi kondom kepada suaminya.
Setelah melewati hari ke-10, Si Jajang berpamitan untuk mencari nafkah dengan cara merantau ke Jakarta. Dan selama 3 bulan di Ibu Kota itu Si Jajang selalu bergumam sendiri.
“Kalau kondom ini dilepas kira-kira Si Entin bakal hamil, nggak yach?” gumam si Jajang sambil memegangi alat kelaminnya yang masih berbalut kondom sejak pergi dari rumahnya di desa 3 bulan yang lalu.
Sebab dia selalu ingat kata-kata terakhir sang istri; “Selama Akang Jajang pake’ kondom maka saya nggak bakal hamil..!”